Wednesday, June 8, 2011

Aisyah Ummul Mukminin


Dia adalah putri seorang imam yang jujur, agung, dan khalifah Rasulullah SAW, Abu Bakar bin Quhafah. 
Aisyah hijrah bersama kedua orang tuanya setelah Rasulullah SAW menikahinya dan wafatnya Khadijah binti Khuwailid, sekitar 10 bulan sebelum hijrah. Rasulullah SAW kemudian menggaulinya pertama kali pada bulan Syawal tahun 2 Hijriyah, setelah pulang dari perang Badar, saat dia berusia 9 tahun. 

Dia banyak meriwayatkan ilmu yang bermanfaat dan berkah dari Nabi SAW. Hadits yang diriwayatkan Aisyah mencapai 2210 hadits.

Aisyah termasuk orang yang dilahirkan pada masa Islam dan lebih muda 8 tahun dari Fatimah. Dia pernah berkata, “Aku belum memahami apa-apa tentang kedua orang tuaku kecuali keduanya memeluk agama Islam.” 

Dia sosok wanita cantik, yang dijuluki Humaira`,130 satu-satunya perawan yang dinikahi Nabi SAW, yang sangat dicintai beliau melebihi istri-istri beliau yang lain, bahkan wanita secara keseluruhan. 

Sebagian ulama berpendapat bahwa dia lebih mulia dari ayahnya, Abu Bakar, tetapi pendapat ini dibantah, karena Allah SWT telah menciptakan setiap sesuatu dengan ukurannya sendiri-sendiri. Kita bersaksi bahwa beliau adalah istri Rasulullah SAW di dunia dan akhirat. Apakah ada kebanggaan yang lebih besar dari ini? Walaupun Khadijah memiliki keistimewaan yang tidak tertandingi, tetapi aku tidak bisa mengatakan mana di antara mereka yang lebih utama. Memang betul, aku mengakui keutamaan Khadijah atas Aisyah, tetapi dalam beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan di sini. 

Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, 

“Aku selalu bermimpi tentangmu selama tiga malam berturut-turut, seorang malaikat datang kepadamu dan kamu memakai penutup dari kain sutra. Malaikat itu berkata, ‘Ini adalah istrimu’. Lalu ketika aku menyingkap wajahnya, ternyata dia adalah kamu. Aku pun berkata, ‘Jika ini berasal dari sisi Allah, maka Dia pasti akan memberikannya’.”

Nabi SAW menikahi Aisyah setelah wafatnya Khadijah. Beliau menikahinya dan Saudah dalam waktu yang sama. Beliau lalu hanya menggauli Saudah, selama tiga tahun, baru menggauli Aisyah pada bulan Syawwal setelah perang Badar. 

Beliau sangat mencintainya, dan kecintaannya itu terlihat jelas. 
Amr bin Al Ash, orang yang masuk Islam pada tahun 8 Hijriyah, bertanya kepada Nabi, “Siapa orang yang paling engkau cintai wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Aisyah.” Dia lanjut bertanya, “Lalu siapa dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya.”

Hadits ini shahih walaupun banyak kalangan yang menolaknya, tetapi Rasulullah SAW tidak mencintai sesuatu kecuali yang baik. Beliau pernah bersabda, “Seandainya aku boleh mengambil seseorang sebagai kekasih dari umat ini, maka aku akan menunjuk Abu Bakar sebagai kekasihku, akan tetapi ukhuwah Islam lebih utama.” 

Jadi, Rasulullah SAW mencintai orang yang paling utama dari umatnya, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, siapa pun yang membenci kedua kekasih Rasulullah itu, sama saja membenci Allah dan Rasul-Nya.

Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Istri-istri Rasulullah SAW terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama terdiri dari Aisyah, Hafshah, Shafiyah, dan Saudah, sedangkan kelompok kedua terdiri dari Ummu Salamah dan istri-istri lainnya. Jika ada salah seorang di antara mereka akan memberikan hadiah kepada Rasulullah SAW, maka mereka menunda pemberiannya itu hingga beliau berada pada giliran di rumah Aisyah, baru mereka memberikannya di rumah Aisyah. Sampai-sampai kelompok Ummu Salamah berkata, “Berbicaralah kepada Rasulullah SAW agar beliau berbicara kepada orang-orang, ‘Barangsiapa ingin memberikan hadiah kepada Rasulullah SAW maka hendaknya memberikannya di tempat Rasulullah SAW menggilir istri-istrinya’.” (tidak harus menunggu sampai Rasulullah SAW berada di rumah Aisyah). 

Ummu Salamah berbicara kepada beliau tentang permasalahan yang mereka katakan itu, tetapi Rasulullah SAW tidak berkomentar apa-apa. Ketika istri-istri beliau bertanya kepada Ummu Salamah, dia menjawab, “Beliau tidak menjawab apa-apa.” Mereka lalu berkata lagi kepadanya, “Bicaralah dengan beliau sekali lagi.” Setelah itu Ummu Salamah berbicara lagi ketika beliau sedang di rumahnya, tetapi beliau tidak berkomentar apa-apa. Ketika itu Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Janganlah menyakitiku dengan cara menyakiti Aisyah, karena wahyu tidak pernah datang kepadaku ketika aku berada di dalam baju seorang wanita kecuali Aisyah.” Ummu Salamah lalu berkata, “Aku bertobat kepada Allah dari menyakitimu ya Rasulullah.” 

Mereka kemudian memanggil Fatimah binti Rasulullah, lalu dia pergi menghadap Rasulullah SAW dan berkata, “Sesungguhnya istri-istrimu menuntut keadilan dari Aisyah binti Abu Bakar.” Setelahitu Fatimah berbicara dengan beliau. Rasulullah SAW lalu bersabda, “Wahai Anakku, tidakkah kamu senang apa yang aku senangi?” Dia menjawab, “Ya.” Fatimah kemudian kembali menemui mereka lantas memberitahukan mereka, lalu mereka berkata, “Bicaralah dengannya sekali lagi!” Tetapi Fatimah enggan menurutinya. 

Selanjutnya mereka mengutus Zainab binti Jahasy. Dia kemudian menghadap beliau lalu bersikap berlebih-lebihan seraya berkata, “Istri-istrimu sebenarnya menuntut keadilan darimu atas perlakuanmu terhadap Aisyah binti Abu Quhafah.” Dia mengatakan itu sambil mengangkat suaranya sampai terdengar oleh Aisyah yang sedang duduk, maka Aisyah marah dan mencela Zainab, hingga Rasulullah SAW melihat Aisyah dan bersabda, “Apakah kamu ingin berbicara?” Aisyah pun berbicara untuk menyangkal perkataan Zainab hingga Zainab dibuatnya terdiam. Nabi SAW lalu menoleh ke Aisyah lantas bersabda, “Sesungguhnya dia putri Abu Bakar.”
Diriwayatkan dari Abu Musa, dari Nabi SAW, beliau bersabda, 

“Banyak kaum pria yang sempurna, tetapi di antara wanita yang sempurna hanya Maryam binti Imran dan Asiyah istri Fir’aun. Sedangkan keistimewaan Aisyah atas seluruh wanita seperti keistimewaan tsarid131 dari makanan yang lain.”

Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: Aku pernah berkata, “Ya Rasulullah, siapa di antara istri-istrimu yang masuk surga?” Beliau bersabda, “Kamu termasuk salah satu dari mereka.” Aku menduga hal itu karena beliau tidak pernah menikah dengan seorang perawan selainku.

Diriwayatkan dari Az-Zuhri, dia berkata: Abu Salamah menceritakan kepadaku bahwa Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Aisyah, ini adalah Jibril, dia menyampaikan salam kepadamu.” Aisyah lalu berkata, “Wa’alaihissalam warahmatullah, engkau melihat apa yang tidak kami lihat ya Rasulullah.”

Diriwayatkan dari Amr bin Ash, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah mengangkatnya sebagai pemimpin pasukan Dzatu As-Salasil. Kemudian ketika bertemu dengan beliau, aku bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah.” Aku bertanya lagi, “Llalu siapa lagi dari kalangan laki-laki?” Beliau menjawab, “Ayahnya.”

Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah SAW menikahiku setelah Khadijah meninggal, sementara aku pada saat itu berusia 6 tahun. Beliau kemudian menggauliku pada saat aku berusia 9 tahun. Setelah itu beberapa orang wanita datang menemui saat aku sedang bermain-main di atas ayunan dengan rambut terurai ke bahu. Mereka lalu mendandaniku dan merias diriku, kemudian membawaku menemui Rasulullah SAW.”

Diriwayatkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah, dia berkata, “Ketika aku sedang bermain-main dengan anak-anak perempuan, tiba-tiba Rasulullah SAW datang, sehingga teman-temanku lari bersembunyi dari beliau. Setelah beliau keluar, mereka kembali lagi kepadaku secara diam-diam lalu bermain-main denganku.”
Riwayat lain menyebutkan, “...tetangga kami mempunyai anak-anak perempuan yang suka bermain-main denganku. Namun ketika mereka melihat Rasulullah SAW, mereka bersembunyi, lalu datang kepadaku secara diam-diam.”

Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah SAW pernah mendatangiku saat aku sedang bermain-main dengan anak-anak. Beliau lalu berkata, ‘Apa ini wahai Aisyah?’ Aku menjawab, ‘Kuda Sulaiman yang bersayap’. Setelah itu beliau tertawa.”

Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW berdiri di depan pintu kamarku saat orang-orang Habasyah sedang bermain-main dengan tombak di masjid. Beliau kemudian menutupiku dengan serbannya supaya aku bisa melihat permainan mereka, lalu beliau berdiri menemaniku sampai aku akhirnya pulang. Ketika itu mereka menganggapku layaknya seorang gadis muda yang hanya ingin bermain-main.

Kabar Bohong yang Menimpa Aisyah
Peristiwa tersebut terjadi pada saat perang Al Muraisi’, tahun 5 Hijriyah, saat Aisyah RA berusia 12 tahun.
Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dia berkata: Urwah, Ibnu Al Musayyib, Alqamah bin Waqqash, dan Abidullah bin Abdullah menceritakan kepadaku dari Aisyah RA, dia berkata, “Orang-orang yang menyebarkan berita bohong untuk memfitnahku. Tetapi Allah SWT kemudian membebaskanku dari tuduhan tersebut. Semuanya menceritakan beberapa perkataan kepadaku, sedangkan yang lain membenarkan perkataan sebagian yang lain, walaupun ada dari mereka yang lebih paham dari yang lain.” 
Aisyah lanjut berkata, “Apabila Rasulullah SAW ingin bepergian maka beliau biasanya mengundi istri-istri beliau. Jika undian tersebut jatuh pada salah seorang istri beliau, maka dialah yang akan keluar bersama Rasulullah SAW. 

Suatu ketika Rasulullah SAW mengundi kami untuk memilih siapa yang akan ikut bersama beliau ke medan perang. Tanpa diduga aku memenangi undian tersebut. Peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat hijab. Aku lantas dibawa di dalam Haudaj.132 Di dalam bilik inilah aku ditempatkan selama berada di medan perang. Setelah Rasulullah SAW selesai berperang, kami langsung pulang. Kami kemudian berhenti untuk beristirahat sesaat di sebuah tempat yang terletak dekat dengan Madinah. Ketika waktu malam tiba, kami diminta supaya meneruskan perjalanan. Pada waktu yang sama aku bangkit dan berjalan jauh dari rombongan pasukan untuk membuang hajat. Setelah membuang hajat, aku kembali ke tempat rombongan. Namun tatkala aku menyentuh dadaku memegangi kalung, ternyata kalungku dari manik Zafar (berasal dari Zafar, Yaman) hilang, maka aku kembali lagi ke tempat tadi untuk mencari kalungku, hingga akhirnya aku ditinggalkan oleh rombongan. Beberapa orang sahabat yang ditugaskan membawa Haudaj-ku mengira aku telah berada di dalamnya. Wanita pada waktu itu semuanya bertubuh ringan, tidak terlalu tinggi, dan tidak terlalu gemuk kerena mereka hanya memakan sedikit makanan, agar para sahabat tidak merasa berat ketika membawa dan mengangkat Haudaj. Apalagi aku pada waktu itu masih gadis. 

Setelah berhasil menemukan kalungku, aku kembali ke tampat tersebut, namun tidak seorang pun yang ada di sana, sehingga aku kembali ke tempat pemberhentianku, dengan harapan mereka menyadari bahwa tidak ada di Haudaj lantas kembali mencariku. Aku lalu mengantuk dan tertidur. 

Kebetulan Shafwan bin Al Mu’aththal As-Sulami Az-Zakwani muncul. Ia ditinggal pasukan yang berangkat pada awal malam dan sampai ke tempat istirahatku pada pagi hari. Dia kemudian melihat seseorang (aku) sedang tidur.  Dia lalu menghampiriku lantas menemukanku sedang tidur. Dia mengenaliku karena pernah melihatku sebelum kewajiban hijab diturunkan. Aku kemudian terbangun karena dia mengucapkan innaa lillaahi wa inaa ilaihi raaji’uun saat mengetahui bahwa aku sedang tidur di situ. Aku lalu segera menutup wajahku dengan kain tudung. Demi Allah, dia tidak berkata apa pun kepadaku dan aku juga tidak mendengar sepatah kata pun darinya selain ucapannya innaa lillaahi wa inaa ilaihi raaji’uun. Setelah itu dia memintaku menunggang untanya. Tanpa membuang waktu aku pun menerima tawaran tersebut dan terus naik dengan berpijak ditangannya, lalu pergi, sedangkan dia menarik unta. Hingga akhirnya kami bisa mengejar pasukan yang sedang berhenti istirahat karena panas terik. 

Celakanya, ada orang yang ingin agar aku hancur dengan memfitnahku, yaitu Abdullah bin Ubai bin Salul. Setelah sampai di Madinah, aku jatuh sakit selama sebulan. Sementara itu orang-orang terus menyebarkan fitnah tentang diriku, tetapi aku sendiri tidak mengetahuinya. Aku kemudian mulai resah setelah sikap Rasulullah SAW berubah. Aku tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah SAW yang biasanya kurasakan ketika aku sakit. Rasulullah SAW hanya masuk untuk mengucapkan salam dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Suasana ini menyebabkanku semakin gelisah, karena menurutku aku tidak pernah melakukan keburukan.

Setelah penyakitku berangsur-angsur sembuh, aku keluar bersama Ummu Misthah ke tempat kami biasa buang air besar, dan kami hanya keluar pada waktu malam. Keadaan ini terus berlanjut hingga kami membangun bilik yang berdampingan dengan rumah kami. Kamilah orang Arab yang pertama kali membuat bilik untuk bersuci. Akhirnya kami merasa terganggu dengan bilik tersebut yang dibangun berdampingan dengan rumah kami. 

Suatu hari aku keluar bersama Ummu Misthah binti Abu Ruhmi bin Al Muththalib bin Abdul Manaf. Ibunya adalah putri Sakhrin bin Amir, bibi Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, anaknya bernama Misthah bin Usasah bin Abbad bin Al Muththalib. Setelah kami selesai buang air besar, aku berjumpa dengan putri Abu Ruhmi yang tinggal berdampingan dengan rumahku. Tiba-tiba Ummu Misthah terinjak pakaiannya lalu latah sambil berkata, “Celaka kamu Misthah!” Aku berkata kepadanya, “Buruk sekali yang kau ucapkan! Apakah engkau mencela seorang lelaki yang syahid dalam peperangan Badar?” Dia menjawab, “Wahai Aisyah, tidakkah engkau mendengar perkataannya?” Aku menjawab, “Tidak, apakah yang dia katakan?” Ummu Misthah lalu menceritakan kepadaku tuduhan tersebut. Mendengar cerita itu, sakitku semakin parah. 

Setelah sampai di rumah, Rasulullah SAW masuk menjengukku. Beliau mengucapkan salam dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Aku menjawab, “Apakah engkau izinkan aku berjumpa dengan kedua orang tuaku?” Pada saat itu aku ingin kepastian tentang berita tersebut dari kedua orang tuaku. Setelah mendapat izin dari beliau, aku segera pulang ke rumah orang tuaku. Sesampainya di sana, aku bertanya kepada Ibuku, “Ibu, apakah cerita yang disebarkan oleh orang-orang mengenai diriku?” Ibuku menjawab, “Wahai Anakku, tabahkanlah hatimu! Demi Allah, berapa banyak wanita cantik berada di samping suami yang menyayanginya dan mempunyai beberapa orang selir (madu) tetapi tidak difitnah, tetapi justru fitnah itu dilontarkan kepada wanita.” Aku lantas berkata, “Maha Suci Allah, apakah sampai sebegitu tega orang memfitnahku?” Aku terus menangis pada malam tersebut dan tidak lagi mampu menahan air mata. Aku tidak dapat tidur, dan keesokan paginya aku tetap dalam keadaan demikian. 

Tak lama kemudian Rasulullah SAW memanggil Ali bin Abu Thalib dan Usamah bin Zaid untuk mendiskusikan perceraian beliau dengan istrinya. Ketika itu wahyu belum diturunkan. Usamah bin Zaid lalu memberi saran kepada Rasulullah SAW tentang penjagaan Allah terhadap istri beliau dan kemesraan beliau terhadap mereka, “Wahai Rasulullah, mereka adalah keluargamu. Kami cuma mengetahui apa yang baik.” Sementara Ali bin Abu Thalib berkata, “Allah tidak akan menyulitkanmu. Wanita yang lain masih banyak. Jika engkau bertanya kepada pembantu rumah pun, tentu dia akan memberikan keterangan yang benar.” 

Setelah itu Rasulullah SAW memanggil Barirah (pembantu rumah) kemudian bertanya, “Wahai Barirah, apakah engkau pernah melihat sesuatu yang meragukan tentang Aisyah?” Barirah menjawab, “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sekiranya aku melihat sesuatu padanya, niscaya aku tidak akan menyembunyikannya. Dia tidak lebih dari seorang gadis muda yang sering tertidur di samping adonan roti keluarganya sehingga binatang ternak seperti ayam dan burung datang memakannya.” 

Rasulullah SAW kemudian berdiri di atas mimbar untuk meminta pertolongan, guna membersihkan segala fitnah yang dilontarkan oleh Abdullah bin Ubai bin Salul. Dalam ceramahnya Rasulullah SAW bersabda, “Wahai umat Islam, siapakah yang ingin menolongku dari orang yang sanggup melukai hati keluargaku? Demi Allah, apa yang aku ketahui hanyalah kebaikan. Beberapa orang telah menyebut tentang seorang lelaki yang aku ketahui bahwa dia orang yang baik. Dia tidak pernah masuk untuk berjumpa dengan istriku kecuali bersamaku.” 
Mendengar itu, Sa’ad bin Mu’adz Al Anshari langsung bangkit dan berkata, “Aku yang akan menolongmu dari orang itu wahai Rasulullah. Jika dia berasal dari golongan Aus maka aku akan memenggal lehernya, sedangkan jika dia dari kalangan saudara kami, Khazraj, perintahkanlah aku maka aku akan melaksanakan segala perintahmu itu.” 

Mendengar kata-kata tersebut Sa’ad bin Ubadah lantas bangkit. Dia adalah tokoh Khazraj, yang dikenal shalih tetapi kadang-kadang cepat marah karena congkak. Dia berkata kepada Sa’ad bin Mu’adz, “Engkau bohong! Demi Allah, engkau tidak dapat membunuhnya dan tidak mampu membunuhnya!” Usaid bin Hudhair, sepupu Sa’ad bin Mu’adz, lalu bangun dan berkata kepada Sa’ad bin Ubadah, “Engkau yang bohong! Demi Allah, kami akan membunuhnya. Engkau orang munafik yang membela orang-orang munafik.” Terjadilah pertengkaran hebat antara golongan Aus dengan Khazraj, sampai-sampai pertumpahan darah nyaris tidak bisa dihindarkan. 

Sementara itu Rasulullah SAW yang masih berdiri di atas mimbar tidak henti-hentinya menenangkan mereka hingga mereka terdiam karena melihat Rasulullah SAW diam. 

Melihat keadaan itu, aku menangis sepanjang hari. Air mataku tidak berhenti mengalir dan aku tidak dapat tidur hingga malam berikutnya. Kedua orang tuaku menganggap tangisanku itu bisa menyebabkan jantungku pecah. Ketika orang tuaku menungguku, datanglah seorang wanita Anshar meminta izin menemuiku. Setelah aku mengizinkannya, dia masuk dan duduk sambil menangis. Ketika itu Rasulullah SAW masuk dan memberi salam, lalu duduk bersamaku. Beliau tidak pernah berbuat demikian sejak fitnah itu terjadi pada diriku sebulan yang lalu. Wahyu juga tidak diturunkan kepada beliau mengenai keadaanku. 

Setelah itu Rasulullah SAW mengucapkan dua kalimat syahadah saat duduk, kemudian bersabda, “Wahai Aisyah, aku tahu banyak cerita bohong yang dituduhkan pada dirimu. Jika engkau memang tidak bersalah, Allah pasti akan membuktikan kebenaran dirimu. Tetapi seandainya engkau bersalah, maka mohonlah ampunan kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya karena apabila seorang hamba mengaku berdosa, kemudian bertobat, niscaya Allah menerima tobatnya.” 

Mendengar sabda beliau tersebut, aku bertambah sedih sehingga tidak terasa air mataku menetes. Aku kemudian berkata kepada Ayahku, “Jelaskanlah kepada Rasulullah SAW mengenai perkataan beliau.” Ayahku menjawab, “Demi Allah, Aku tidak tahu apa yang harus dijelaskan kepada Rasulullah SAW.” Aku lalu berkata kepada Ibuku, “Jelaskanlah kepada Rasulullah SAW.” Namun Ibuku juga menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus dijelaskan kepada Rasulullah.” Aku pun berkata, “Aku adalah seorang gadis muda. Aku tidak banyak membaca Al Qur`an. Demi Allah, aku tahu kalian telah mendengar semua itu hingga berita itu diterima hati kalian dan mempercayainya. Jika aku mengatakan bahwa aku tidak bersalah, maka Allah yang mengetahui bahwa aku tidak bersalah, tetapi kalian tetap tidak mempercayaiku. Begitu juga jika aku mengaku bersalah, maka Allah yang mengetahui bahwa aku tidak bersalah dan kalian tentu akan mempercayaiku. Demi Allah, aku hanya menemukan satu ucapan yang tepat untuk menghadapi kasusku ini, yaitu kata-kata yang dilontarkan Ayah Nabi Yusuf AS, ‘Kalau begitu bersabarlah aku dengan sebaik-baiknya dan Allah jualah yang dimintai pertolongan mengenai apa yang kamu katakan itu’.” (Qs. Yuusuf [12]: 18) 

Aku kemudian pulang lalu berbaring di atas tempat tidurku. Demi Allah, pada saat itu aku yakin diriku tidak bersalah dan Allah akan menunjukkan bahwa aku tidak bersalah. Tiba-tiba Rasulullah SAW melihat dalam mimpinya bahwa Allah membersihkanku dari fitnah tersebut. 

Demi Allah, belum lagi Rasulullah SAW beranjak dari tempat duduk beliau dan tidak ada seorang pun dari keluarga kami yang keluar, Allah akhirnya menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya, sehingga beliau terlihat berubah. Beliau lalu duduk membungkuk sambil berpeluh bagaikan mutiara pada musim dingin karena beratnya menerima firman Allah yang diturunkan. Setelah itu Rasulullah SAW terus tertawa. Ucapan pertama yang terlepas dari mulut beliau setelah menerima wahyu tersebut adalah sabdanya, “Bergembiralah wahai Aisyah!, karena Allah telah membebaskanmu dari tuduhan tersebut.” Ibuku lantas berkata kepadaku, “Bangunlah dan temuilah Rasulullah!” Aku menjawab, “Demi Allah, aku tidak akan menjumpai beliau. Aku hanya akan memuji Allah karena Dia yang telah menurunkan ayat Al Qur`an yang menyatakan ketidakbersalahanku.”

Selanjutnya Allah menurunkan ayat,  “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita yang amat dusta itu adalah segolongan dari kalangan kamu ....” (Qs. An-Nuur [24]: 11-)

Ketika Allah menurunkan ayat tentang kebebasanku dari tuduhan tersebut, Abu Bakar —yang dulunya memberi nafkah kepada Misthah karena kedekatan beliau dengannya dan karena kemiskinannya— berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memberikan nafkah lagi sedikit pun kepada Misthah setelah dia memfitnah Aisyah.” Lalu turunlah firman Allah, 

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?”  (Qs. An-Nuur [24]: 22) 

Abu Bakar pun berkata, “Demi Allah, aku senang jika Allah mengampuniku.” Beliau lalu memberikan kembali nafkah itu kepada Misthah seperti biasanya, seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mencabutnya darinya selamanya.” 

Aisyah berkata, “Rasulullah SAW kemudian bertanya kepada Zainab binti Jahsy tentang masalahku. Dia berkata, ‘Menurut perasaanku, pendengaranku, dan penglihatanku, aku tidak mengetahuinya kecuali baik’. Dialah wanita yang mengungguliku di antara istri-istri Nabi, maka Allah menjaganya dengan kewara’an. Ketika saudara perempuannya, Hamnah, berusaha untuk menentangnya, dia pun binasa bersama kalangan yang membuat cerita bohong itu.

Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata: Aku lalu berkata, “Wahai Rasulullah SAW, bagaimana pendapat engkau jika engkau turun ke sebuah lembah yang di dalamnya ada pohon yang sudah dimakan dan belum dimakan, mana yang lebih engkau pilih untuk menggembala untamu?” Beliau menjawab, “Pohon yang belum dimakan.” Aisyah berkata lagi, “Akulah dia.” 

Maksudnya, Rasulullah SAW belum pernah menikah dengan perawan selainnya.
Aisyah berkata, “Aku tidak pernah cemburu dengan seorang perempuan melebihi kecemburuanku terhadap Khadijah, karena Rasulullah SAW sering menyebut dirinya.”

Menurut aku, sesuatu yang paling mengherankan jika Aisyah cemburu kepada seorang wanita yang sudah meninggal lama sebelum Nabi SAW menikah dengannya. Kemudian Allah menjaganya dari kecemburuan dari istri-istri Nabi lainnya. Ini terjadi karena kasih sayang Allah SWT kepadanya dan kepada Nabi, supaya kehidupan mereka berdua tidak keruh. Mungkin Aisyah menyembunyikan kecemburuan itu karena besarnya rasa cinta kepada Nabi SAW sehingga Allah meridhainya.

Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa suatu ketika seorang perempuan berkulit hitam datang menghadap Nabi SAW, dan beliau menyambutnya dengan sambutan yang hangat. Aku pun berkata, “Ya Rasulullah, apakah engkau menyambut wanita berkulit hitam itu dengan sambutan yang seperti itu?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya dia dulu pernah berjumpa dengan Khadijah dan janji yang baik adalah sebagian dari iman.”
Ada yang mengatakan bahwa setiap hadits yang di dalamnya ada lafazh “Ya Humaira`” tidaklah shahih.133 
Kata humaira‘ dalam konteks penduduk Hijaz berarti putih dan ini jarang digunakan. Diantaranya seperti yang ditulis dalam hadits رَجُلٌ أَحْمَر كَأَنَّهُ مِنَ الْمَوَالِي “Seorang laki-laki berkulit kemerah-merah, seakan-akan berasal dari kalangan budak yang dimerdekakan.” Yang dimaksud adalah kulitnya para budak dari kalangan Nashrani Syam, Romawi, dan non-Arab.

Kemudian jika orang Arab berkata,  maka maksudnya adalah orang yang berkulit sawo matang. Adapun untuk kulit orang India, orang Arab biasanya menyebutnya  dan  “Coklat tua.” Sedangkan untuk menyebut orang yang berkulit sangat hitam, orang Arab biasa mengungkapnya dengan kata  “Hitam.” Begitu juga dengan orang yang berkulit sangat hitam atau gelap, mereka menggunakan kata  atau  “Hitam.” Contohnya sabda Rasulullah SAW,  “Aku diutus kepada orang yang berkulit terang dan gelap.” Artinya untuk seluruh keturunan anak Adam, tidak terbatas pada salah satu ras. Dengan demikian, warna yang dimaksud pada hadits itu adalah seputar warna hitam dan putih, yang memiliki konotasi makna warna terang atau cerah. 

Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Kami pernah keluar bersama Rasulullah SAW dalam sebagian perjalanannya hingga ketika kami sampai di tanah yang lapang atau di Dzatil Jaisy, kalungku putus sehingga Rasulullah SAW berusaha mencarinya. Sementara para sahabat yang tinggal bersama beliau tidak memiliki persediaan air, sehingga mereka menemuii Abu Bakar dan berkata, ‘Bagaimana pendapatmu tentang perbuatan Aisyah, dia bermukim bersama Rasulullah SAW sementara yang lain tidak memiliki air’.

Abu Bakar kemudian menegurku. Dia mengatakan banyak hal lalu menekan tangannya pada lambungku dan aku ketika itu tidak bisa bergerak karena Nabi SAW berada di pahaku. Rasulullah SAW tidur hingga Subuh tanpa air. Allah kemudian menurunkan ayat tayamum sehingga mereka pun bertayamum.”

Usaid bin Hudhair —salah seorang pemimpin— berkata, “Ini tidak lain adalah berkah kalian yang pertama wahai keluarga Abu Bakar!” Lalu kami mengirim unta yang kami tunggangi. Ternyata tali itu ada di bawahnya (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir, dia berkata, “Abu Bakar pernah meminta izin kepada Nabi SAW, tiba-tiba Aisyah mengangkat suaranya lebih keras daripada suara Nabi, sehingga Abu Bakar berkata, ‘Wahai binti fulanah, apakah kamu mengangkat suaramu lebih keras daripada suara Rasulullah?’ Nabi SAW lalu menengahi Abu Bakar dan Aisyah, hingga akhirnya Abu Bakar keluar. Nabi SAW lantas meminta keridhaan Aisyah seraya berkata, ‘Tidakkah kamu melihat bahwa aku menjadi penengah antara orang itu dengan kamu?’ Setelah itu Abu Bakar meminta izin sekali lagi, lalu beliau mendengar tawa mereka berdua. Rasulullah SAW bersabda, ‘Kalian berdua ikut bersama kami dalam damai seperti halnya kalian ikut bersama kami dalam peperangan’.”

Diriwayatkan dari Urwah, dia berkata: Aisyah berkata, “Aku tidak tahu hingga Zainab menemuiku tanpa izin dan dia marah kepadaku, kemudian dia berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Aku mengira kamu lebih berpihak kepada keturunan Abu Bakar karena lengannya yang kecil’. Zainab kemudian menghadapku dan aku melawannya, maka Nabi SAW bersabda, ‘Sudah, sekarang pergilah kamu’. Aku kemudian melawannya hingga aku melihat air liur di mulutnya kering dan tidak lagi melawan. Setelah itu aku melihat wajah Nabi SAW nampak gembira.”

Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah SAW pernah memberiku tulang, lalu aku membuatkan kuah untuknya. Kemudian beliau mengambilnya, lalu memutarnya hingga beliau meletakkan bibirnya pada tempat (tulang) yang sudah aku gigit sebelumnya.”

Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa jika Nabi SAW keluar maka beliau mengadakan undian antara istri-istrinya. Ternyata undian jatuh pada Aisyah dan Hafshah. Jika datang waktu malam, Rasulullah SAW berbincang-bincang dengan Aisyah sehingga Hafshah berkata, “Tidakkah kamu naik untaku malam ini dan aku naik untamu, kamu melihat dan aku melihat.” Aisyah menjawab, “Ya.” Aku pun naik. Tiba-tiba Nabi SAW pergi ke unta Aisyah yang di atasnya ada Hafshah, lalu beliau mengucapkan salam kepadanya, kemudian berjalan hingga turun. Sementara Aisyah ketika itu sedang mencari-cari Nabi SAW. Ketika mereka turun, Aisyah meletakkan kakinya di antara tumbuh-tumbuhan. Tiba-tiba dia berkata, “Ya Rabb, aku disengat kalajengking atau ular. Wahai utusanmu, dan aku tidak bisa mengatakan apa-apa kepadanya.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dia berkata, “Kami pernah datang mengunjungi Ali RA, lalu ketika dia menceritakan tentang Aisyah, dia berkata, ‘Dia adalah kekasih Rasulullah SAW’.”
Hadits ini hasan karena Mush’ab orang yang shalih dan periwayatannya tidak bermasalah. 

Hal ini dikatakan oleh Amirul Mukminin tentang hak Aisyah dengan apa yang terjadi pada mereka berdua. Tidak diragukan lagi bahwa Aisyah sangat menyesali perjalanannya ke Bashrah dan hadirnya dia pada waktu perang Jamal. Dia tidak mengira masalahnya sampai sebesar itu.

Diriwayatkan dari Ismail, dia berkata: Qais menceritakan kepada kami, dia berkata: Ketika Aisyah pergi dan sampai di sumur bani Amir pada malam hari, anjing-anjing menggonggong, maka dia berkata, “Sumur apa ini?” Mereka menjawab, “Sumur Hau`ab.” Aisyah berkata, “Aku tidak mengira kecuali aku akan kembali.” Sebagian orang yang bersamanya lalu berkata, “Tetapi sebaiknya kamu maju supaya orang-orang Islam melihatmu sehingga mereka bisa berdamai.” Setelah itu Aisyah berkata, “Pada suatu hari Rasulullah SAW bersabda, ‘Bagaimana dengan salah satu dari kalian yang akan digonggongi oleh anjing-anjing Hau`ab’.” 
Sanad hadits ini shahih.

Diriwayatkan dari Shalih bin Kaisan dan yang lain, bahwa Aisyah berkata, “Ketika Utsman terbunuh secara zhalim, aku menyeru kalian untuk membalas dendam atas kematiannya dan mengembalikan kepemimpinan dengan cara bermusyawarah.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia pernah berkata kepada Az-Zubair pada waktu perang Jamal, “Inilah Aisyah, dia mencalonkan kerabatnya sendiri sebagai pemimpin, yaitu Thalhah. Lalu ada dasar apa kamu memerangi kerabatmu sendiri, Ali!” Setelah itu Az-Zubair kembali dan bertemu dengan Ibnu Jurmuz, lantas membunuhnya.
Mengenai perang Jamal, aku telah mengutipnya secara ringkas ketika membahas keutamaan perilaku Ali, bahwa Ali berdiri di depan kemah Aisyah mencela perjalanan yang dilakukannya. Aisyah lalu berkata, “Wahai Ibnu Abu Thalib, kamu memiliki kekuatan, maka buatlah permasalahan ini menjadi mudah dan maafkanlah!” Ali  kemudian menyiapkan Aisyah pergi ke Madinah dan memberinya dua belas ribu dirham. Semoga Allah meridhai mereka berdua.

Diriwayatkan dari Abu Wa‘il, bahwa dia mendengar Ammar —ketika Ali mengutusnya ke Kufah untuk mengusir orang-orang— berkata, “Kami benar-benar tahu bahwa dia istri Nabi di dunia dan akhirat, tetapi Allah telah menguji kami dengannya supaya kalian mengikuti-Nya atau mengikuti Aisyah.”

Diriwayatkan dari Abu Musa, dia berkata, “Setiap kali kami menemukan masalah dengan hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, kami pasti mendapatkan jawabannya dari Aisyah.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abu Mulaikah, dia mengatakan bahwa Dzakwan, Abu Amr, menceritakan kepadanya, dia berkata: Suatu ketika Ibnu Abbas RA meminta izin kepada Aisyah ketika dia sedang sakaratul maut. Aku kemudian datang dan di bagian kepalanya ada Abdullah bin Abdurrahman, keponakannya, aku lalu berkata, “Ini Ibnu Abbas, dia meminta izin.” Aisyah lalu berkata, “Jauhkan Ibnu Abbas dariku, aku tidak membutuhkannya dan tidak membutuhkan tazkiyahnya.” Mendengar itu, Abdullah berkata, “Wahai ibu, Ibnu Abbas termasuk putramu yang shalih, mengucapkan kata perpisahan dan salam kepadamu.” Aisyah lalu berkata, “Izinkan dia jika kamu mau.” Tak lama kemudian Ibnu Abbas datang. Setelah duduk, dia berkata, “Bergembiralah, demi Allah, engkau tidak akan segera bertemu dengan Muhammad SAW dan para kekasih, kecuali rohmu meninggalkan jasadmu.” Aisyah berkata, “Cukup wahai Ibnu Abbas!” Ibnu Abbas lanjut berkata, “Engkau adalah istri Rasulullah yang paling beliau cintai, sementara beliau tidak senang kecuali sesuatu yang baik. Ketika kalungmu jatuh pada malam Abwa`, Rasulullah SAW mencarinya, sampai-sampai ketika memasuki waktu malam, yang lain tidak mempunyai persediaan air, sehingga Allah menurunkan firman-Nya,  ‘Maka bertayamumlah kalian dengan debu yang bersih’, (Qs. An-Nisaa` [4]: 42), semua itu disebabkan karenamu. Padahal Allah tidak pernah menurunkan rukhshah134 kepada umat ini sebelumnya. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya dari langit ketujuh tentang ketidakbersalahan dirimu dari tuduhan bohong tersebut, sehingga tidak ada masjid yang di dalamnya disebut nama Allah, kecuali kebebasanmu itu dibaca pada tengah malam dan siang hari.” Mendengar itu, Aisyah berkata, “Pergilah dariku wahai Ibnu Abbas! Demi Allah, aku berharap seandainya aku dilupakan.”
Jika Masruq meriwayatkan hadits dari Aisyah, dia berkata, “Ash-Shiddiqah binti Shiddiq, kekasih dari kekasih Allah, yang telah mendapat jaminan kebebasan dari langit ketujuh dan aku tidak mendustakannya, menceritakan kepadaku....”

Diriwayatkan dari Abu Adh-Dhuha, dari Masruq, dia berkata: Kami pernah berkata kepadanya, “Apakah Aisyah pandai ilmu faraidh?” Dia menjawab, “Demi Allah, aku telah melihat para pembesar sahabat Muhammad bertanya kepadanya tentang faraidh.”

Diriwayatkan dari Hisyam, dari ayahnya, dia berkata, “Aku telah menemani Aisyah, tetapi aku tidak melihat seorang pun yang lebih tahu tentang ayat-ayat yang diturunkan, tentang kewajiban, Sunnah, syair, riwayat, hari-hari Arab, nasab, begini, begitu, masalah hukum, dan pengobatan, daripada Aisyah’. Aku lalu bertanya kepadanya, ‘Wahai bibi, tentang pengobatan, darimana engkau mempelajarinya?’ Dia menjawab, ‘Ketika sakit, aku diobati dengan sesuatu dan jika ada orang sakit, dia juga diobati dengan sesuatu itu. Aku lalu menyuruh orang-orang agar saling mengobati dengan sesuatu itu, sehingga akhirnya aku hafal’.”

Az-Zuhri —dari riwayat Ma’mar dan Al Auza’i dan ini redaksi Auza’i— berkata: Auf bin Ath-Thufail bin Al Harits Al Azdi —keponakan Aisyah— berkata: Suatu ketika Aisyah mendapat berita bahwa Abdullah bin Az-Zubair berada di rumahnya yang dijualnya, lalu Abdullah marah karena penjualan rumah itu, ia berkata, “Demi Allah, cegahlah Aisyah menjual kekayaannya atau aku akan menekannya.”

Aisyah lalu bertanya, “Apakah dia berkata begitu?” Mereka menjawab, “Begitulah kiranya.” Aisyah berkata, “Demi Allah, aku tidak mau berbicara dengannya hingga kami dipisahkan oleh maut.”

Lama Aisyah tidak mau berbicara dengan Abdullah bin Az-Zubair, sehingga itu membuatnya sedih dan banyak orang yang telah menjelaskan kepada Aisyah bahwa Abdullah bin Az-Zubair merasa berat menanggung hal tersebut, tetapi Aisyah tetap tidak mau berbicara dengannya.

Ketika permasalahan tersebut semakin berlarut-larut, Al Al Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman bin Al Aswad bin Abdul Yaghuts meminta izin kepada Aisyah untuk menghadap. Ketika mereka berdua diizinkan, keduanya bertanya, “Kami semua diizinkan?” Aisyah menjawab, “Ya, masuklah kalian semua.” Tetapi Aisyah tetap tidak merasa. Tak lama kemudian Ibnu Az-Zubair masuk bersama keduanya. Lalu Abdullah bin Az-Zubair membuka kain penghalang, lantas memeluknya kemudian menangis. Aisyah pun menangis tersedu-sedu. Ibnu Az-Zubair, Al Miswar, dan Abdullah mengingatkannya tentang Allah dan kemurkaan-Nya. Mereka juga menyebutkan sabda Rasulullah, “Tidak halal bagi seorang muslim untuk mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” Ketika mereka banyak menyebutkan hadits itu kepada Aisyah, akhirnya dia mau berbicara dengan Ibnu Az-Zubair, setelah sekian lama tidak mau berbicara. Setelah itu Aisyah pergi ke Yaman dengan membawa harta, kemudian dia dibelikan empat puluh budak, lalu dia memerdekakannya.

Auf berkata, “Selanjutnya aku mendengar Aisyah menceritakan tentang nadzarnya itu dan menangis hingga membasahi kerudungnya.”

Az-Zuhri berkata, “Seandainya ilmu Aisyah dikumpulkan dan dibandingkan dengan semua ilmu wanita di dunia, maka ilmu Aisyah lebih banyak.”

Diriwayatkan dari Atha`, bahwa Mu’awiyah pernah mengirim kalung kepada Aisyah dengan harta seratus ribu dirham, lalu Aisyah membaginya kepada istri-istri Rasulullah SAW.

Diriwayatkan dari Urwah, dari Aisyah, bahwa dia pernah bersedekah dengan tujuh puluh ribu dirham, tetapi dia sendiri menambal bagian samping bajunya.

Diriwayatkan dari Ummu Dzurrah, dia berkata, “Ibnu Az-Zubair pernah mengirim harta kepada Aisyah dalam dua peti sebanyak seratus ribu dirham. Lalu dia meletakkannya di dalam wadah lalu membagikannya kepada orang-orang. Ketika sore tiba, dia berkata, ‘Wahai budak perempuanku, siapkan makanan berbukaku!’ Ummu Dzurrah lalu berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin, apakah engkau tidak bisa membeli daging dengan satu dirham?’ Aisyah menjawab, ‘Jangan menyalahkanku, jika kamu tadi mengingatkanku, tentu aku akan melakukannya’.”

Diriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’ad, dia berkata, “Umar pernah mewajibkan untuk memberi kepada masing-masing Ummahatul Mukminin sepuluh ribu dirham dan dia menambahkan untuk Aisyah dua ribu dirham lalu berkata, ‘Karena dia kekasih Rasulullah SAW’.”

Diriwayatkan dari Syu’bah, dia berkata, “Abdurrahman bin Wasim menceritakan kepada kami dari ayahnya, bahwa Aisyah pernah berpuasa sepanjang masa.”

Diriwayatkan dari Amr bin Abu Amr, bahwa dia mendengar Al Qasim berkata, “Aisyah memakai dua perhiasan emas dan perak pada waktu sedang ihram.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abu Mulaikah, dia berkata: Aisyah berkata, “Rasulullah SAW meninggal di rumahku, pada hari giliranku, saat berada di atas pangkuanku. Tak lama kemudian Abdurahman bin Abu Bakar masuk sambil membawa siwak kering, lalu beliau melihatnya terus hingga aku mengira beliau menginginkannya, maka siwak itu kemudian aku ambil, lalu aku kupas dan aku beri wewangian. Aku lantas memberikannya kepada beliau, lalu beliau bersiwak dengan cara yang tidak pernah aku sebelumnya. Setelah itu beliau mengangkat tangannya kepadaku (memberikan siwak), lalu tangannya jatuh. Aku kemudian mendoakannya dengan doa yang dibacakan oleh Jibril kepadanya, yang sering beliau baca ketika sedang sakit, tetapi beliau tidak pernah lagi berdoa dengannya selama sakit yang terakhir. Ketika itu beliau mengangkat pandangannya ke langit seraya berkata, ‘Ar-rafiq al a’laa’, lalu jiwanya melayang. Segala puji bagi Allah yang telah menyatukan dadaku dengan dadanya pada akhir kehidupannya di dunia.” 
Hadits ini shahih.

Aisyah meninggal tahun 57 Hijriyah.
Diriwayatkan dari Qais, dia berkata: Aisyah pernah berkeinginan agar jasadnya disemayamkan di rumahnya, maka dia berkata, “Aku sesungguhnya ingin melakukan sesuatu yang baru setelah Rasulullah wafat, ‘Kuburlah aku bersama istri-istri beliau’. Maka dia pun dikuburkan di Baqi`.” 

Menurutku yang dimaksud sesuatu yang baru adalah perjalanan yang dilakukannya pada saat perang Jamal. Kemudian dia amat menyesali tindakannya itu dan bertobat, meskipun dia melakukan hal itu untuk tujuan baik, seperti halnya ijtihad Thalhah bin Ubaidullah, Zubair bin Awam dan beberapa orang dari kalangan pembesar. Semoga Allah meridhai mereka.

Aisyah meninggal dalam usia 63 tahun satu bulan.
Diriwayatkan dari Aisyah RA, bahwa dia pernah membunuh seorang jin, lalu dia didatangi dalam mimpinya, “Demi Allah, kamu telah membunuh seorang muslim.”

Aisyah berkata, “Seandainya dia seorang jin muslim, tentu dia tidak akan masuk rumah istri-istri Nabi.” Lalu ada yang berkata, “Bukankah ketika dia masuk kamu memakai pakaian?” Tiba-tiba Aisyah gemetar, lalu dia menyuruh menyedekahkan dua belas ribu dirham untuk diinfakkan di jalan Allah.

Diriwayatkan dari Aisyah binti Thalhah, dia berkata, “Ada seorang jin menampakkan diri di depan Aisyah. Jin itu kemudian sering sekali menampakkan diri di hadapan dirinya dan yang hanya jin itu inginkan adalah menampakkan diri. Aisyah lantas menyerangnya dengan besi hingga membunuhnya. Aisyah kemudian bermimpi. Dalam mimpinya, ada yang berkata, ‘Kamu telah membunuh seseorang yang menyaksikan perang Badar, tetapi dia tidak dapat dilihat oleh dirimu, tidak beralas, dan tidak sendirian, tetapi dia bisa mendengar hadits Rasulullah SAW lalu mengambilnya dari awal hingga akhir’. Ketika Aisyah menceritakan mimpi itu kepada ayahnya, ayahnya berkata, ‘Sedekahkanlah dua belas ribu dirham sebagai ganti diyatnya’.”

Sanad hadits yang pertama shahih. Pada saat ini, aku tidak lagi mendapatkan adanya kewajiban membayar diyat semacam itu.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, 

‘Siapa pun di antara kalian yang nantinya mengendarai unta besar, maka akan banyak korban yang dibunuh di sekelilingnya, dan dia selamat setelah nyaris binasa’.”

Ibnu Abdul Barr berkata, “Hadits ini diambil dari kitab A’lam An-Nubuwwah.”

------------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Silakan isikan komentar dengan bahasan yang santun

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home